tatapanmu terlajur melayang. dan aku terlanjur tersentuh. aku ingin hilang rasa. aku ingin hilang makna. akhir seperti ini bukan yang aku tulis dalam rencana hidupku. sayang aku menulisnya dengan tinta hitam, bukan dengan pencil kayu yang dapat dengan mudah aku hapus seenak perut. dulu aku ratu, penguasa, pemilik beribu pasang mata. dari ribuan pasang mata yang yang dengan cuma-cuma dapat menatapku, menelusuri setiap garis kecantikan dan kemolekkan tubuhku salah satunya adalah sepasang mata itu. sepasang mata tajam namun redup, perpaduan yang terlalu maha dahsyat bagiku.
sepasang mata itu (sempat) jadi miliku, selalu setia menatap pergerakanku. sesekali baradu pandang dengan mata sipitku. itu saja cukup (kala itu). sepasang mata itu ambisiku, tanpa peduli yang lain. aku hanya ingin sepasang mata itu. (kala itu) setiap kali aku nanar memandang hidup yang bagiku njelimet, sepasang mata itu mampu mengenyahkan segala rasa merana. aku hidup, bukan hanya menjadi ratu, tapi (kala itu) bersanding dengan raja. maka lengkap sudah. sempurna.
aku tak pernah mendengar suara, tapi aku tahu. kami tak pernah bersentuhan. hanya saling menatap dalam. sepasang mata itu berbicara. sepasang mata itu selalu menikmati keindahanku. memandangku hingga orgasme. lagi, dan lagi, dan lagi.
terlalu picik berpikir bahwa keindahan ini berbanding lurus dengan keabadian. tahtaku sebagai ratu akhirnya lengser juga. ada ratu ratu dari kerajaan lain yang menunggu dinikmati. dihujani tatapan terkesima. aku jatuh, aku kehilangan sepasang mata yang (sempat) menjadi tumpuan energiku. tak ada sepasang mata tajam namun redup yang menikmatiku. membisikkan kata-kata tanpa suara tentang betapa berharganya aku, betapa indahnya aku, betapa maha dahsyatnya kemolekkanku. dua belas tahun telah berlalu. dua belas tahun bukan waktu yang sesaat namun bagiku tetap tak pernah cukup. aku butuh dua belas tahun lagi, aku butuh dua puluh empat tahun lagi, aku butuh beratus tahun lagi bertatapan dengan sepasang mata itu. aku belum mau merasa kehilangan, aku belum mau merasa dicampakan, aku ratu, aku berhak bersanding dengan raja selamanya. aku ratu (dulu).
pada akhirnya semua menuju akhir, begitu juga keindahanku. aku peot, mulai keriput, waktu terlalu setia berjalan beriringan denganku. tak pernah berhenti beberapa menit saja agar aku dapat memiliki keindahan ini lebih lama. pantas saja sang raja memalingkan tatapannya. memecatku sebagai ratu, aku kini tak pantas disebut ratu. kulitku kusam, rambutku mulai rontok. tak ada lagi rambut hitam tebal bergelombang yang menjadi mahkotaku. ini adalah akhir bagiku. akhir masa keemasanku. aku tak lebih dari rakyat jelata yang tak perlu dihiraukan orang. pernah aku berpikir untuk mengakhiri eksistensiku sebagai manusia, sebilah pisau telah aku genggam,siap merenggut hidupku, lalu aku berpikir, siapa yang mau peduli? aku urungkan niatku.
seorang penasihat pernah berkata padaku, setiap akhir adalah sebuah awal. jatuhnya tahtaku adalah sebuah gerbang baru bagiku, awalan baru hidupku. seperti kematian, kita mati untuk hidup lagi, hidup abadi di alam sana. jika benar setiap akhir merupakan sebuah awal, lalu kapan kita benar-benar berhenti? berakhir tanpa ada awalan lagi?
sepasang mata itu (sempat) jadi miliku, selalu setia menatap pergerakanku. sesekali baradu pandang dengan mata sipitku. itu saja cukup (kala itu). sepasang mata itu ambisiku, tanpa peduli yang lain. aku hanya ingin sepasang mata itu. (kala itu) setiap kali aku nanar memandang hidup yang bagiku njelimet, sepasang mata itu mampu mengenyahkan segala rasa merana. aku hidup, bukan hanya menjadi ratu, tapi (kala itu) bersanding dengan raja. maka lengkap sudah. sempurna.
aku tak pernah mendengar suara, tapi aku tahu. kami tak pernah bersentuhan. hanya saling menatap dalam. sepasang mata itu berbicara. sepasang mata itu selalu menikmati keindahanku. memandangku hingga orgasme. lagi, dan lagi, dan lagi.
terlalu picik berpikir bahwa keindahan ini berbanding lurus dengan keabadian. tahtaku sebagai ratu akhirnya lengser juga. ada ratu ratu dari kerajaan lain yang menunggu dinikmati. dihujani tatapan terkesima. aku jatuh, aku kehilangan sepasang mata yang (sempat) menjadi tumpuan energiku. tak ada sepasang mata tajam namun redup yang menikmatiku. membisikkan kata-kata tanpa suara tentang betapa berharganya aku, betapa indahnya aku, betapa maha dahsyatnya kemolekkanku. dua belas tahun telah berlalu. dua belas tahun bukan waktu yang sesaat namun bagiku tetap tak pernah cukup. aku butuh dua belas tahun lagi, aku butuh dua puluh empat tahun lagi, aku butuh beratus tahun lagi bertatapan dengan sepasang mata itu. aku belum mau merasa kehilangan, aku belum mau merasa dicampakan, aku ratu, aku berhak bersanding dengan raja selamanya. aku ratu (dulu).
pada akhirnya semua menuju akhir, begitu juga keindahanku. aku peot, mulai keriput, waktu terlalu setia berjalan beriringan denganku. tak pernah berhenti beberapa menit saja agar aku dapat memiliki keindahan ini lebih lama. pantas saja sang raja memalingkan tatapannya. memecatku sebagai ratu, aku kini tak pantas disebut ratu. kulitku kusam, rambutku mulai rontok. tak ada lagi rambut hitam tebal bergelombang yang menjadi mahkotaku. ini adalah akhir bagiku. akhir masa keemasanku. aku tak lebih dari rakyat jelata yang tak perlu dihiraukan orang. pernah aku berpikir untuk mengakhiri eksistensiku sebagai manusia, sebilah pisau telah aku genggam,siap merenggut hidupku, lalu aku berpikir, siapa yang mau peduli? aku urungkan niatku.
seorang penasihat pernah berkata padaku, setiap akhir adalah sebuah awal. jatuhnya tahtaku adalah sebuah gerbang baru bagiku, awalan baru hidupku. seperti kematian, kita mati untuk hidup lagi, hidup abadi di alam sana. jika benar setiap akhir merupakan sebuah awal, lalu kapan kita benar-benar berhenti? berakhir tanpa ada awalan lagi?
*****
tulisan ini terinspirasi, hmmm...terpancing ketika mendengarkan lagu dari stars-ageless beauty.
Ageless beauty
Cruelty makes its holes
But on the shoreline
Time will hold its promise
We will always be a light
You can see it from the surface, see it
We will always be a light
You can see it from the surface, see it
We will always be a light
Tattered fingers
Lingering on the warm and foolish
Hardened faces
Graceless, we'll lose the battle
Oceans won't freeze
So loosen your heart
Underestimated
Undefeated in this love
Cruelty makes its holes
But on the shoreline
Time will hold its promise
We will always be a light
You can see it from the surface, see it
We will always be a light
You can see it from the surface, see it
We will always be a light
Tattered fingers
Lingering on the warm and foolish
Hardened faces
Graceless, we'll lose the battle
Oceans won't freeze
So loosen your heart
Underestimated
Undefeated in this love
Tidak ada komentar:
Posting Komentar