Kamis, 08 April 2010

aku, kami, kalian, kita -belum habis-

"cobalah bertindak dewasa" begitu katanya. katanya umurku sudah melebihi dua tangan dan dua kaki. aku balik bertanya.

"dewasa? memangnya selama ini apa yang aku lakukan? merengek minta diceboki? menggenggam dot dengan isi yang sudah kosong? menangis hanya karena tak sengaja menjatuhkan vas bunga ibu?"

pertengkaran ini cuma-cuma, sama saja seperti para politikus yang baku hantam tanpa rasa malu dengan dalih membela rakyat padahal tak lebih dari perang kepentingan pribadi. dia begitu kuat dihadapanku, terlalu kokoh. bahkan aku dapat dengan mudah menjatuhkan sebidang tembok tapi tak demikian dengan menjatuhkan ia. ia kuat namun lemah. ia kokoh namun rapuh. ia jeli namun ceroboh. dengan mudah aku menyalip diantaranya. katakanlah ia pintar, cerdas. tapi bagiku aku tetap membencinya setengah mati. lebih dari setengah umurku aku gunakan untuk membencinya. menghitung setiap kesalahannya. mencibir setiap keteledorannya. menggugat setiap kewajibannya.

dalam kebersamaan kami, ketegangan adalah bumbu wajib. kami tak pernah duduk sama rata. kami adalah undakan, dan dia selalu berada diatasku. kami tak pernah sama rasa, seperti nasi goreng yang tak diaduk dengan rata, ada bagian yang memiliki rasa dan ada yang hambar.
ia selalu bicara panjang lebar disertai berbagai teori yang -sayangnya-sangat logis. di sela-sela ocehan panjang lebarnya asap roko tak pernah ketinggalan menjadi bumbu. ibarat perjalanan, apa yang ingin ia sampaikan terlalu rumit, berbelit-belit hingga ia sendiri lupa kemana tujuannya.

"kamu harus mulai mengerti keadaan, jadilah dewasa. cobalah menempatkan diri pada posisi yang benar, mana yang salah, mana yang benar'

ucapannya bukannya membuatku ingin mendengarkan perkataannya lebih lanjut. aku malah asik berdailog dengan diriku. dewasa katanya? ohh definisi dewasa menurutnya adalah definisi paling kuno bagiku. -harus bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk-. kalau begitu, orang dapat dengan dewasa dengan mudah, hapalkan saja mana yang boleh dilakukan dari segi moral, agama, hukum. beli saja buku panduan bersikap baik. lalu beres. kita menjadi dewasa dalam sekejap. ikuti setiap larangan (baca: yang buruk) dan lakukan yang baik (baca: yang benar). sebut saja aku lalay, namun bagiku kedewasaan adalah kebutuhan. bukan keharusan, sebab ketika aku, saya, anda, kalian tak perlu untuk bersikap de-wa-sa maka aku,saya,anda, kalian tak diharuskan untuk bersikap de-wa-sa. dewasa? adakah teori nya? sini, biar aku lahap agar aku bisa dewasa seperti yang ia mau.

sebut saja, pengalaman mampu membuat seseorang menjadi dewasa. tapi apakah dewasa lalu menjadi sesuatu yang permanen?atau, kalau benar dewasa berbanding lurus dengan usia (ia bilang umurku sudah melebih dua tangan dan dua kaki) maka jelas, yang paling dewasa di dunia ini adalah manusia dengan umur terpanjang, yang masih hidup hingga saat ini tentunya.

"hey, kalau ada orang bicara, dengarkan!!!!" suaranya setengah berteriak, aku yakin suaraku lebih nyaring dari pada suaranya. jelas aku mampu membalas teriakkannya.
"iya, telingaku masih berfungsi dengan baik, aku dengar" ia tampak begitu lusuh, keriput menghiasi kulit wajahnya, warna rambutnya mulai memudar ditelan abu-abu.

"tolonglah kamu mengerti, kamu bukan anak kecil lagi, kamu tahu apa yang aku lewati, kami lewati, kita semua lewati, tolong bantu selesaikan masalah ini, jangan hanya menunjukkan sikap kanak-kanakmu dengan berkata bahwa semuanya bisa kembali baik-baik saja"

apa lagi ini? sikap kanak-kanak? lihatlah kalian berdua, saling menusuk dengan mencari seteru, apa itu namanya de-wa-sa yang harus aku contoh? saling menistakan tanpa mengingat ada aku,ada kami, ada bocah laki-laki berumur 8 tahun yang menyaksikan segalanya.
menjadi tua seperti kalian memang rumit, aku muak, aku, kami selalu dituding tidak mengerti.
aku hanya diam menanggapi kata-kata terakhirnya, ada ribuan kalimat yang ingin aku teriakkan padanya, tapi aku masih perempuan timur, dan aku masih 'takut kualat' maka kutahan, kutelan lagi ribuan kalimat itu. aku hanya diam memandangnya, aku berbicara atau tidak saat ini tak ada bedanya, ia adalah sang ayah, dan baginya aku, kami akan selalu menjadi sang anak. ya, 'anak-anak'. ia berlalu, dengan berpura-pura tidak mengetahui kemarahanku yang terkubur. karena ia sang ayah. dan aku tetap hanya diam. aku tidak mau menjadi pendosa dengan mengutuknya dengan kata. biarlah amarah ini tersimpan dalam hatiku, hati kami. karena sesungguhnya amarah ini bersandingan dengan rasa hormat dan sayang terhadap sang ayah.

manusia hidup, bergerak, berubah, berpindah
persetan dengan de-wa-sa yang kau bilang, aku, kamu, kita, kalian hanya perlu hidup. selesaikan apa yang telah dimulai. mulailah yang harus dilakukan,hadapilah apa yang sedang berjalan, bertahanlah untuk menuju penyelesaian, karena sebelum menuju selesai, kita belum benar-benar habis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar